Kuil Shinto Tersuci di Jepang Dibangun Ulang Setiap 20 Tahun Selama Lebih dari Satu Milenium
24 Sep 2025 - oleh : KarirJepang.id
24 Sep 2025 - oleh : KarirJepang.id
ISE, Jepang – Di dalam hutan lebat pegunungan Jepang, para pendeta Shinto menyaksikan para penebang kayu berpakaian putih upacara menebas dua pohon cemara kuno dengan kapak, mengayunkan pukulan mereka secara serentak dari tiga arah.
Sekitar satu jam kemudian, kepala penebang berteriak, “Pohon tumbang!” saat salah satu pohon berusia 300 tahun itu ambruk, menggema dengan suara keras di hutan. Sesaat kemudian, pohon lainnya pun ikut roboh.
Pemotongan kayu sakral ini merupakan bagian dari tradisi luar biasa yang sudah berlangsung setiap dua dekade selama 1.300 tahun di Ise Jingu, kuil Shinto paling suci di Jepang.
Setiap generasi, kompleks Ise dibongkar total dan dibangun kembali dari awal dalam proyek senilai 390 juta dolar AS yang memakan waktu sekitar sembilan tahun. Proses ini melibatkan tukang kayu, penebang, pengrajin, dan pekerja terbaik negeri, yang mencurahkan hati mereka pada setiap detail bangunan—meski mereka tahu, bangunan itu akan kembali dibongkar setelah 20 tahun.
Bangunan di Ise hanya berdiri sekitar satu dekade sebelum proyek dimulai kembali. Namun saat upacara penyucian dilakukan, para pekerja menyerukan, “Bangunan untuk seribu tahun! Sepuluh ribu tahun! Sejuta tahun dan selamanya!”
Tradisi yang Terus Berlanjut
Bagi masyarakat yang dekat dengan kuil ini, siklus pembangunan ulang memiliki makna mendalam dalam kehidupan mereka.
“Dua puluh tahun mendatang, generasi tua—kakek kita—mungkin sudah tiada. Sedangkan kami yang masih muda sekarang akan melihat cucu kami terlibat dalam pembangunan ulang berikutnya,” ujar Yosuke Kawanishi, seorang pendeta Shinto sekaligus pengrajin replika miniatur kuil.
Alih-alih menyesali pembongkaran kuil lama, ia menegaskan, “Kami ingin dewa pindah ke kuil yang baru, indah, dan segar.”
Siklus pembangunan ulang ini kini memasuki yang ke-63, sejak pertama kali terdokumentasi pada tahun 690 di masa Kaisar Jitō. Sebanyak 125 bangunan kuil akan diruntuhkan dan dibangun ulang, beserta 1.500 perlengkapan ritual menggunakan teknik yang diwariskan turun-temurun.
Kuil utama Ise dipersembahkan bagi Dewi Matahari Amaterasu, yang disucikan selama dua milenium di Prefektur Mie, di tepi Sungai Isuzu.
Upacara dan Makna Filosofis
Penulis dan fotografer Miori Inata yang mendokumentasikan rekonstruksi Ise selama satu dekade menyebut, siklus 20 tahun ini mungkin terkait masa simpan beras atau fase kehidupan manusia: lahir ke dewasa, dewasa ke paruh baya, paruh baya ke kematian.
Ia menulis, “Saya sangat terharu menyadari bahwa upacara yang saya saksikan persis sama dengan yang dilakukan 1.300 tahun lalu, dan akan terus diulang di masa depan.”
Rekonstruksi hanya pernah tertunda dua kali: saat perang saudara abad ke-15 dan ke-16, serta setelah Perang Dunia II.
Menurut sejarahwan Noboru Okada, sebelum penebangan kayu dilakukan, para pendeta selalu meminta izin pada dewa gunung. Ribuan orang hadir menyaksikan upacara ini, bagian dari 7 juta peziarah setiap tahun yang datang ke Ise, pusat spiritual agama Shinto.
Misteri dan Spiritualitas
Banyak pengunjung menggambarkan Ise sebagai tempat penuh misteri.
“Tidak banyak kata, tidak banyak penjelasan. Ini sesuatu yang harus dirasakan,” ujar Kawanishi.
Yoriko Maeda, pemilik toko sake lokal, mengatakan dirinya langsung merasakan perubahan saat melewati jembatan menuju kompleks kuil. “Napas saya berubah, suara alam dan angin terasa melepaskan stres saya. Ada kedalaman yang membuat tempat ini sangat menenangkan.”
Detail dalam Setiap Tahap
Dalam hutan Prefektur Nagano, penebang memasukkan ujung pohon yang baru ditebang ke batang pohon lain yang juga baru dipotong, lalu berdoa bersama sebagai penghormatan.
“Itu bentuk doa bagi kelanjutan hidup hutan,” jelas Soju Ikeda, pengusaha kayu lokal.
Kayu cemara kemudian ditarik ramai-ramai melewati Sungai Isuzu menuju kuil, dengan nyanyian ritmis para pria berpakaian tradisional.
Selain kayu, atap jerami alang-alang untuk kuil ditanam khusus hingga panjang lebih dari dua meter—membutuhkan delapan tahun perawatan agar siap digunakan. Pohon cemara yang ditanam di Ise pun dirawat lintas generasi, lebih lama dari usia manusia.
Ikeda mengenang pengalaman bersama kakeknya: “Saat kapak menembus inti pohon, aroma cemara menyebar seperti darah yang mengalir. Ketika akhirnya tumbang, suara pohon itu seperti jeritan. Saat itu saya merasa—ya, pohon itu menangis.”
Laporan ini disertai foto oleh Hiro Komae, Associated Press.
Sumber;
https://english.kyodonews.net/