Kota Resor Ski Jepang Dihantam Perdebatan soal Imigrasi
06 Oct 2025 - oleh : KarirJepang.id
KUTCHAN – Di kota kecil Kutchan, yang terletak di dekat lereng ski terkenal dunia Niseko, Jepang, sebidang lahan kosong yang dulunya ditanami kentang kini menjadi pusat perdebatan nasional mengenai tenaga kerja, pariwisata, dan imigrasi.
Di atas tanah tersebut, para pengembang berencana membangun akomodasi bagi sekitar 1.200 pekerja musiman — sebagian besar adalah pekerja asing — yang dibutuhkan untuk mengoperasikan resor dan proyek konstruksi di wilayah itu. Namun, sejumlah warga menentang proyek ini dengan alasan kekhawatiran akan keamanan dan menurunnya ketertiban sosial.
Ketegangan di Kutchan, yang terletak di Pulau Hokkaido, mencerminkan dilema besar bagi sektor pariwisata Jepang yang kini bernilai 50 miliar dolar AS — menjadi ekspor terbesar kedua setelah otomotif. Populasi Jepang yang menua dan menurun membuat banyak kota kecil seperti Kutchan kehilangan penduduk.
Pendapatan dari wisatawan kini menopang ekonomi Kutchan dan daerah sekitarnya. Namun, kota tersebut kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan hotel, restoran, dan resor yang melayani wisatawan. Akibatnya, mereka tidak punya pilihan lain selain membuka pintu bagi masuknya tenaga kerja asing.
Pada waktu tertentu, warga asing dapat mencapai hingga 22% dari total 17.000 penduduk Kutchan — salah satu rasio tertinggi di Jepang. Kondisi ini menjadikan Kutchan sebagai contoh nyata pertama dari gesekan sosial dan politik yang kemungkinan akan muncul di berbagai wilayah Jepang — negara yang masih berhati-hati terhadap imigrasi, namun semakin bergantung padanya untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Sejak pandemi COVID-19 berakhir, jumlah pekerja dan wisatawan asing meningkat tajam. Hal ini turut memicu bangkitnya partai-partai nasionalis sayap kanan, seperti Sanseito, yang dalam pemilu majelis tinggi Juli lalu berhasil menggerus dominasi Partai Demokrat Liberal (LDP).
Di Kutchan, cerita mengenai imigrasi dimulai pada awal 2000-an ketika wisatawan Australia menemukan salju bubuk khas Niseko. Setelah pandemi, investor kaya dari Hong Kong, Singapura, dan Tiongkok mulai membeli lahan di wilayah tersebut. Belakangan, Kutchan juga menarik lebih banyak pekerja dan pengunjung dari Asia Tenggara.
“Mereka berbeda dengan para orang Barat atau orang-orang kaya yang dulu datang ke sini,” kata Yuka Nakano (44), warga yang memimpin petisi dengan lebih dari 4.000 tanda tangan untuk menolak pembangunan fasilitas pekerja musiman.
Nakano mengatakan dirinya belum pernah mengalami masalah langsung, tetapi mendengar laporan dari warga lain tentang pekerja asing yang membuang sampah sembarangan dan merusak garasi. Ketika upayanya untuk menghentikan proyek ditolak wali kota, ia menghadiri kampanye calon legislatif sayap kanan Yoshihito Tanaka dari Partai Sanseito, yang memperingatkan tentang “invasi diam-diam” orang asing.
Namun, Tanaka gagal memenangkan kursi. Meskipun demikian, wacana anti-imigrasi telah mendapat perhatian luas di daerah tersebut.
Nakano mengeluhkan pesatnya pembangunan hotel di Kutchan. “Rasanya semakin sulit untuk hidup. Seolah-olah kami menjadi orang asing di kota kami sendiri,” ujarnya.
Padahal, ekonomi Kutchan sangat bergantung pada wisatawan dan pekerja asing. Seiring menurunnya angka kelahiran dan migrasi penduduk muda ke kota besar, sebuah studi memperkirakan hampir setengah dari pemerintah daerah di Jepang bisa menghilang pada tahun 2050.
Namun, Kutchan justru berkembang pesat. Hotel mewah berarsitektur kayu dan kaca menghiasi lereng gunung, restoran ramai di malam hari, dan pabrik bir lokal penuh turis.
“Kebanyakan warga merasa tidak diuntungkan dari industri pariwisata, padahal sebenarnya mereka ikut menikmati hasilnya,” kata Takashi Hayakawa, anggota dewan kota Kutchan.
Wali kota Kutchan, Kazushi Monji, menegaskan bahwa proyek perumahan bagi pekerja asing sangat dibutuhkan. “Sekitar 80% pengunjung resor ski adalah orang asing. Mereka butuh tempat tinggal, dan itu solusi atas masalah kekurangan perumahan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kamera keamanan akan dipasang di fasilitas tersebut untuk meredam kekhawatiran warga. Pemerintah kota juga sedang melakukan survei untuk menunjukkan kontribusi pariwisata terhadap perekonomian lokal.
Menurut Kunihiro Kondo, manajer proyek di perusahaan pengembang Nisade Services, penolakan warga terhadap proyek ini merupakan bentuk protes terhadap perubahan besar yang terjadi di kota. Ia juga mengakui, “Kenaikan jumlah warga asing terasa begitu cepat bagi kami yang terbiasa dengan kehidupan tenang di pedesaan.”
Meskipun begitu, Kondo menghadapi serangan daring dan komentar negatif setelah proyeknya terekspos di media sosial.
Kini, banyak pihak di Kutchan sepakat bahwa arus masuk pekerja asing perlu diatur agar pemerintah daerah bisa membantu proses adaptasi mereka. Pemerintah pusat Jepang pun telah membentuk lembaga khusus untuk mengawasi kebijakan imigrasi nasional dan menjaga “stabilitas sosial.”
Ketua dewan kota, Shigeki Sakui, mengatakan Kutchan bisa menjadi model bagi daerah lain di Jepang dalam menghadapi era baru keterbukaan terhadap tenaga kerja asing.
Namun, anggota dewan lainnya, Seiko Kimura, menilai bahwa saat ini justru banyak daerah yang berusaha tidak menjadi seperti Kutchan. “Kita harus mengubah pandangan itu,” ujarnya.
Beberapa langkah yang sudah dilakukan pemerintah kota termasuk penerbitan Kutchan ID yang memberi potongan harga bagi warga lokal di supermarket dan resor, serta rencana menggunakan pendapatan pariwisata untuk memperbaiki layanan publik seperti pembersihan salju.
Wali kota Monji juga menyoroti keberhasilan program pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. “Sekarang anak-anak lebih terbiasa berinteraksi dengan orang asing,” katanya.
“Dulu kami merasa canggung saat melihat orang asing, tapi anak-anak sekarang sudah biasa. Mereka tidak lagi menganggap itu sesuatu yang aneh,” ujarnya menutup pembicaraan.
Sumber;
https://www.japantimes.co.jp/