Fakta-fakta Karoshi di Jepang, Stres Berat gegara Kerja yang Picu Kematian
06 Sep 2024 - oleh : KarirJepang.id
06 Sep 2024 - oleh : KarirJepang.id
Fenomena 'karoshi' atau kematian akibat bekerja berlebihan masih terus terjadi di Jepang. Kebanyakan, kasus 'bekerja sampai mati' ini terjadi karena terlalu banyak bekerja dan jam kerja terlalu panjang.
Selain itu, para karyawan di Jepang kebanyakan memiliki ikatan terlalu besar dengan pekerjaan. Hal inilah yang membuat mereka rela sering bekerja sampai lembur.
Sekitar 85 persen pengusaha melaporkan memberi pekerja mereka dua hari libur dalam seminggu dan pembatasan hukum mengenai jam lembur. Ini juga disepakati dengan serikat pekerja dan dirinci dalam kontrak.
Namun, beberapa warga Jepang melakukan kerja lembur yang tidak dilaporkan dan dilakukan tanpa adanya kompensasi.
Setidaknya 54 kematian telah terjadi akibat terlalu banyak bekerja di setiap tahunnya, termasuk karena serangan jantung. Angkanya bahkan lebih tinggi di periode sebelum 2021, yakni di atas 100 kematian.
Berdasarkan laporan Japan Times, budaya karoshi ini berdampak luar biasa pada waktu tidur para pekerja. Penelitian menunjukkan ketika kesenjangan antara jumlah tidur yang diinginkan orang dan jumlah yang mereka peroleh lebih dari dua jam sehari dapat menyebabkan masalah kesehatan.
Itu termasuk kantuk di siang hari, kesulitan berkonsentrasi, serta gangguan pencernaan juga usus. Belum lagi gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Pada kenyataannya, 35,5 persen pekerja mengatakan mereka tidur antara lima dan enam hari per malam. Kemudian, sebanyak 35,2 persen yang mengatakan mereka tidur antara enam dan tujuh jam.
Sementara 15,7 persen lainnya mengatakan mereka tidur antara tujuh dan delapan jam, dan 3,5 persen mengatakan mereka tidur lebih dari itu, 10 persen mengatakan mereka tidur kurang dari lima jam.
Survei yang sama juga menemukan kurang tidur terkait erat dengan kecenderungan depresi dan kecemasan, serta perasaan tidak bahagia. Semakin besar kesenjangan antara jumlah tidur ideal dan aktual, semakin tertekan pekerja, kata laporan itu.
Jam kerja di Jepang terkenal terpanjang di dunia, hingga menyebabkan beberapa pekerja muda di sana benar-benar 'bekerja sampai mati'. Hal ini yang dialami pria bernama Naoya yang bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi besar Jepang.
Sang ibu, Michiyo Nishigaki, menyebut putranya sangat menyukai komputer dan berpeluang besar untuk mendapat pekerjaan. Namun, sekitar dua tahun kemudian kondisi Naoya mulai memburuk.
"Ia mengatakan bahwa ia sibuk, tetapi ia berkata bahwa ia baik-baik saja," kata Michiyo yang dikutip dari BBC.
"Kemudian, ia pulang ke rumah untuk menghadiri pemakaman ayah saya, tapi ia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Ia berkata untuk membiarkannya tidur sebentar karena tidak bisa bangun," sambungnya.
Michiyo baru mengetahui kondisi sebenarnya yang dialami anaknya itu dari teman-temannya. Ternyata, Naoya bekerja sepanjang waktu hingga kereta terakhir. Jika ia terlambat, Naoya akan tidur di meja kerjanya.
"Dalam kasus terburuk, ia harus bekerja semalaman hingga pukul 10 malam keesokan harinya, bekerja total selama 37 jam," tuturnya.
Sekitar dua tahun kemudian, Naoya meninggal dunia di usia 27 tahun karena overdosis obat. Kematiannya ini secara resmi ditetapkan sebagai kasus karoshi.
Kasus yang sama juga dialami Matsuri Takahashi yang bekerja di sebuah biro iklan. Wanita itu meninggal di usia 24 tahun karena bunuh diri.
Ternyata, dia hampir tidak tidur setelah bekerja lembur lebih dari 100 jam sebulan sebelum kematiannya.
Melihat kasus karoshi yang terus bermunculan, pemerintah meminta perusahaan dan karyawannya untuk mengikuti aturan kerja empat hari dalam seminggu. Aturan itu pertama kali didukung oleh anggota parlemen pada 2021.
Namun, saat ini hanya ada delapan persen perusahaan Jepang yang mengizinkan karyawannya mengambil cuti setidaknya tiga hari seminggu.
Data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengungkapkan sekitar tujuh persen perusahaan hanya menawarkan satu hari libur per minggu yang diwajibkan secara hukum.
Kampanye 'reformasi gaya kerja' pemerintah ini berfokus untuk mempromosikan jam kerja yang lebih pendek dan peraturan fleksibel lainnya. Ini juga termasuk soal batasan lembur dan cuti tahunan berbayar.
Pihak kementerian juga mengatakan mereka terbuka untuk menawarkan konsultasi gratis, hibah, dan kumpulan kisah sukses yang terus bertambah sebagai motivasi lebih lanjut.
"Dengan mewujudkan masyarakat tempat para pekerja dapat memilih dari berbagai gaya kerja berdasarkan keadaan mereka, kami bertujuan untuk menciptakan siklus pertumbuhan dan distribusi yang baik dan memungkinkan setiap pekerja memiliki prospek yang lebih baik untuk masa depan," tulis kementerian tersebut di situs webnya, dikutip dari Wion News.
Sumber;
https://health.detik.com/